[Series] That Summer – Chap. 8 / Final

 

THAT SUMMER

Chapter 8 / Final
Author : Caesar
Judul : That Summer
Genre : Romance, Sad
Cast : Seohyun SNSD ǀ Luhan EXOǀ Kai EXOǀ Other member SNSD & EXOǀ
|
|
Happy Reading

Pintu kediaman Kim menjeblak terbuka. Para pelayan terkesiap melihat putra pertama majikan mereka masuk dengan tampang yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

“Tuan muda.” Pelayan itu menatap Luhan takut-takut

“Dimana dia?!”

“Ye?”

“Dimana Tuanmu itu?!”

Pelayan itu terlihat begitu gugup tidak tahu apa yang harus dilakukan.

“Tidak ada orang di rumah, Tuan.” Pelayan itu menyahut takut-takut melihat tampang Luhan.

“Kemana mereka pergi?”

Belum sempat pelayan menjawab, ponsel dalam sakunya berbunyi. Ia mengambil ponsel tersebut kemudian mengerutkan dahi ketika membaca si penelpon.

‘Seohyun?’ batinnya. Ada apa gadis itu meneleponnya.

Luhan sendiri terlalu larut dengan masalah hidupnya hingga ia lupa gadis itu kemarin marah padanya. Ia tahu ia harus segera membereskan masalahnya dengan Seohyun, tapi itu bisa menunggu nanti. Ada hal yang jauh lebih penting dibandingkan itu. Ini soal ibunya.

Ia membiarkan telepon itu, tak berusaha untuk menjawab panggilannya hingga ponselnya berhenti berdering. Helaan nafas keluar dari hidungnya, baru saja ia akan memasukkan ponsel kembali ke sakunya, tapi ponselnya kembali berdering. Ia membalik layarnya, dan nama yang sama tertera di sana.

Dalam hati ia bergumam, ada apa gerangan dengan Seohyun. Tidak mempunyai pilihan lain, Luhan pun menjawab panggilan itu.

“Oh.”

“Kau dimana Lu?” suara Seohyun terdengar panik, membuat Luhan harus mengerutkan dahinya.

“Ada apa?”

“Kau harus datang ke sini.”

“Wae?”

“Oh Luhan. Aku tidak ada waktu menjelaskannya.”

“Kenapa?”

“Saat ini Aku ada di restaurant. Orangtuaku dan orangtua Kai mengadakan pertemuan untuk membahas masalah itu.”

Sesaat tubuh Luhan menegang. Sialan, masalah satu belum selesai mengapa sudah timbul masalah baru. Luhan mengutuk Tuan Kim dalam hati. Ini pasti ulah laki-laki itu. Amarah yang sedari tadi berkobar dan berusaha ia tahan kini kembali meluap-luap.

“Kau ada dimana sekarang?!” tanya Luhan kaku.

“Restaurant yang sama saat keluarga kita bertemu.”

Tak menunggu Seohyun menutup telepon Luhan sudah terlebih dahulu memutuskan sambungan teleponnya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada si pelayan yang menatapnya antara bingung dan takut, Luhan pergi meninggalkannya.

Mobilnya berpacu sangat kencang menuju tempat dimana orang-orang itu berada. Tangan laki-laki itu mengeras pada setir mobil. Tulisan ibunya kembali melintas dalam bayang-bayang otaknya. Sejak membaca surat ibunya itu Luhan dihantui dan tidak bisa tidur. Berulang kali ia membaca, berusaha menafsirkannya kembali, takut ia salah mengambil kesimpulan.

Tetapi meski ia mencobanya beratus-ratus kali atau hingga kertas itu menjadi lusuh, tetap saja ia sangat terguncang memahami apa makna di balik semua itu.

Pertanyaannya adalah mengapa. Mengapa semuanya melakukan itu pada dirinya? Mengapa mereka menyembunyikan satu fakta itu? Apa mereka pikir ia dungu?

Luhan ingin mengumpat, ingin menghujat, ingin mengutuk kepada siapa saja. Luhan ingin menyalahkan orang lain atas semua penderitaan yang selama ini dialaminya. Tidak pernah seumur hidupnya ini ia merasa begitu rendah. Tidak pernah selama ini ia merasa tak berdaya seperti ini. Tidak, sekalipun ia selalu menderita tapi ia tidak pernah merasa begitu bodoh dan tolol.

Jika ia mampu, jika ia bisa, ia ingin menghajar dirinya sendiri. Luhan ingin mengutuk dirinya sendiri atas kebodohannya. Dan semua ini tidak akan pernah terjadi jika bukan karena dia!

Tak sampai setengah jam kemudian Luhan turun dari mobil di depan restaurant. Tempat dimana pertama kalinya ia bertemu kembali dengan Seohyun. Ia berjalan dengan langkah lebar. Mungkin dengan cara itu ia bisa cepat sampai.

Tapi seakan ia melewati jalanan sejauh berkilo-kilo meter, perjalanan singkat itu terasa seperti selamanya.
Luhan sampai di depan ruangan yang disediakan restaurant untuk pelanggan VIP dengan nafas memburu, jantungnya berdegup cepat hingga ia takut akan meledak. Tak menunggu hatinya tenang terlebih dahulu Luhan membuka pintu dengan kasar.

Perbuatannya itu mengakibatkan ia dihadiahi berbagai macam ekspresi. Seohyun menatap terkejut namun digantikan wajah penuh harap. Kai menatapnya tidak percaya dan penuh kecewa. Sementara ayah dan ibu Seohyun menatapnya dengan ekspresi bingung. Luhan tidak tahu seperti apa ekspresi yang ditunjukkan Tuan dan Nyonya Kim, karena ia belum memandang mereka.

Mulut Seohyun terbuka untuk mengatakan sesuatu tapi diurungkannya.

‘Maaf Seohyun-ah. Aku datang bukan untuk itu.’ Ia berkata dalam hatinya.

“Apa yang Kau lakukan?! Kau tidak sopan!” seruan marah terlontar dari mulut laki-laki itu.

Ia tersenyum sinis lalu berjalan mendekat membuat setiap orang menahan nafas mereka-reka apa yang akan dilakukannya.

“Luhan-ah.” Seohyun memanggilnya tapi ia bergeming. Sorot mata nanarnya hanya menatap satu objek. Ya, ia datang untuk orang itu.

Tuan Kim menatapnya mengejek. Jika dia berpikir Luhan datang kemari untuk merusak rencananya, yah itu tidak sepenuhnya salah. Karena setelah ini Luhan akan memastikan hidup orang itu hancur.

“Luhan?” Nyonya Kim terlihat sama bingungnya dengan orangtua Seohyun.

Sampailah Luhan di depan mereka yang duduk. Kai hanya diam mengawasinya, menunggu kejadian selanjutnya.

Untuk sekilas ia menatap benci Kai. Bocah itu jelas kaget tidak pernah ditatap seperti itu oleh Luhan.

“Jika Kau datang kemari untuk menggagalkan pertunangan Kai dan Seo Joohyun. Kau tidak akan berhasil!” diucapkan oleh Tuan Kim yang hebat.

“Apa??” Ayah Seohyun terkejut.

“Seohyun-ah.” Panggil ibunya, “Apa Luhan laki-laki yang Kau ceritakan itu?!”

Seohyun bergeming menghindari mata ibunya. Luhan mengawasi dari sudut matanya melihat tekad membulat yang berusaha dikumpulkan gadis itu. Setelah menghela nafas, Seohyun mengangkat pandangan ke semua orang.

“Iya bu.” Katanya. “Aku mencintai Luhan.”

Ayah Seohyun terkesiap tidak percaya.

“Begitu juga dengan Luhan. Kami saling mencintai.”

Luhan menutup matanya sejenak. Tiba-tiba merasa lelah dengan semuanya. Ia tidak ingin Seohyun menderita. Ia tidak pantas mendapatkan hati Seohyun. Seohyun patut mendapatkan yang lebih baik. Hatinya terlalu kelam. Hatinya penuh dendam, terlalu hitam untu diberikan pada Seohyun.

Saat Luhan membuka mata dan tak mengeluarkan sepatah kata pun, gadis itu menatapnya terluka.

‘Maafkan Aku. Ini yang terbaik untuk semuanya.’

Ia menghembuskan nafas.

“Aku datang bukan untuk itu.”

“Lalu untuk apa? Bukankah Kau sudah puas menghancurkan semuanya?!” Kai berkata sinis.

“Lu, Luhan-ah.” Panggil Nyonya Kim takut-takut.

“Diam Kau!”

“Jangan meneriaki ibuku.” Kai berdiri siap menerjangnya namun tangan ibunya menahannya

“Kau sebaiknya tidak ikut campur Kim Jongin!”

Seumur hidupnya Luhan tak pernah menyebut nama itu. Ia selalu memanggil adiknya Kai sejak kecil. Tetapi hari ini, ia akan melupakan semuanya. Ia akan menghapus semuanya. Luhan akan memulai lembaran baru dalam hidupnya. Ya, setelah ini, janjinya.

“Sebenarnya, Apa yang Kau lakukan?!” Kai berteriak.

Tawa sinis mengguncang tubuh Luhan.

“Jika Kau tahu yang lebih baik. Tanyakan pada orang yang Kau sebut ayah itu!”

“Kim Luhan!” Tuan Kim berdiri.

“Namaku Xi Luhan!” tekannya. Rahangnya mengatup rapat.

“Kau!”

“Mwo?!” tantang Luhan, “Aku memang bukan bagian dari keluarga itu. Dan tak akan sudi!”

Nyonya Kim mulai terisak.

“Kau keterlaluan hyung!”

“Tahu apa Kau!” telunjuk Luhan terangkat. “Dulu Aku bodoh berusaha keras untuk bisa melebur bersama kalian.” Katanya. “Tapi nyatanya Aku beruntung tidak pernah dianggap dalam keluarga”

“Luhan-ah.” Suara Seohyun sayup-sayup terdengar di telinganya tapi tak dihiraukan Luhan.

“Memikirkan Aku adalah anakmu membuatku jijik!”

Wajah Kim Hyun Jin memerah geram.

Tangan Luhan mengepal, lalu mengambil sesuatu dari dalam saku bajunya. Ia bisa merasakan lipatan kertas itu dalam genggamannya. Tak melepas kontak mata kebencian antara ia dan Tuan Kim, ia meletakkan kertas itu di atas meja dengan kasar.

“Jelaskan! Apa maksud dari semua ini?!”

Tuan Kim memandang dingin dirinya. Kali ini tidak ada lagi ketakutan, tidak ada lagi perasaan dalam mata Luhan. Hanya kebencian dan kebencian yang tersisa dalam hidupnya.

Tiap detik waktu yang berjalan begitu lambat. Aura ketegangan menyebar ke seluruh ruangan itu. Tuan Kim meraih kertas itu dan membacanya. Wajahnya pucat sesaat, kemudian kembali memandang Luhan.

“Mengapa?!” kedua tangan Luhan kembali mengepal di kedua sisi tubuhnya. Amarahnya siap meledak sekarang.

Kertas itu jatuh ke lantai. Ia bisa melihat tangan gemetar yang ingin di sembunyikan Tuan Kim.

“Mengapa?!!” teriakan Luhan menghasilkan efek terperanjat bagi semua orang.

Tenggorokannya tercekat. Ia menelan ludah berkali-kali. Terkutuk, ia tidak akan menangis di hadapan orang itu.

“Mengapa Kalian tak mengatakan yang sebenarnya?! Ibuku bunuh diri karena kalian!!” teriak Luhan. Darah bergemuruh di telinganya. Ia bisa merasakan kakinya lemas saat menyampaikan fakta itu. Hatinya begitu sakit seakan terkoyak oleh sebilah pedang.

Ia mengedarkan pandangan. Seohyun meneteskan air mata sembari menutup mulutnya. Kai terperangah tidak percaya. Semua orang menatapnya iba. Ia benci tatapan itu. Apa mereka pikir ia perlu dikasihani.

“Mengapa Kalian membohongiku!!”

“Hyung!”

“Jangan panggil Aku Hyung. Aku tidak mempunyai adik!”

Kai terluka Luhan tahu. Ia sama terlukanya bahkan lebih parah. Jika bisa, mungkin hatinya sudah berdarah sekarang.

Luhan kembali membayangkan ibunya. Ibunya mungkin tidak akan suka dengan perbuatannya. Ibunya menyuruhnya melupakan semua dan memulai hidup baru.

‘Bagaimana bisa Aku membiarkan mereka melakukan ini padamu bu.’ Batin Luhan.

“Luhan-ah.” Nyonya Kim berusaha berbicara namun dihentikan suaminya.

Tuan Kim yang sedari tadi diam maju memandangnya. Tuan Kim bertubuh tinggi seperti Kai. Ia kini berdiri di hadapan Luhan.

“Kau seharusnya berterimakasih pada kami.” Ungkapnya. “Kami melakukannya demi kebaikanmu!”

Luhan tak tahan lagi. Genggaman tangannya terangkat begitu saja lalu memukul rahang laki-laki itu. Teriakan ngeri menggema. Semuanya menjadi kabur. Ia hanya mengingat saat Tuan Kim jatuh dan Kai menerjangnya.

“Jangan lakukan ini hyung.” Katanya menahan tubuhnya untuk menghabisi orang itu.

“Lepaskan!” dengan kasar mendorong tubuh Kai.

Nafasnya memburu. “Apa Kalian pikir Aku bodoh?!”

“Aku tahu Kalian bersenang-senang di atas penderitaan ibuku!”

“Tidak begitu Luhan-ah!” Nyonya Kim angkat bicara.

“Apa kalian pikir Aku tidak tahu bagaimana menderitanya ibuku saat ia masih hidup?!”

“Lu.” Suara lembut itu berada di sampingnya. Seohyun berdiri di sampingnya berusaha menenangkan dirinya.

“Jangan ikut campur Seohyun-ah.”

“Aku tahu Aku tidak berhak. Tapi kumohon tenanglah.”

“Mwo? Tenang?! Bagaimana Aku bisa tenang! Mereka menyembunyikan fakta tentang ibuku!” katanya.

“Membohongiku. Seakan ibuku tidak penting!”

“Selama ini Aku diam saja! Aku selalu diam saat Aku diperlakukan tidak adil!”

“Aku diam. Saat seharusnya Aku mendapat kasih sayang yang sama! Tapi Aku tidak menyesalinya sekarang!”

Ia memandang ketiga orang itu dengan kedengkian, hingga ia merasa muak. Perutnya mual ingin muntah melihat ketiga orang itu. Ia harus keluar. Luhan tidak sanggup berada di satu ruang yang sama dengan ketiga orang itu tanpa merasa muak.

Dengan kelembutan yang hampir tak bersisa dalam dirinya ia melepaskan tangan Seohyun dari lengannya. “Maafkan Aku. Sekarang Kau tahu mengapa Aku tidak bisa bersamamu Seohyun-ah.”

Setelah berkata begitu ia pergi meninggalkan semuanya. Pergi tanpa menoleh ke belakang.

Tak semudah yang ada dalam pikirannya. Luhan tentu tak memperhitungkan ketika Seohyun menyusulnya dan menahan dirinya di luar restaurant.

“Apa maksud ucapanmu itu??”

Luhan menghela nafas lelah, sangat lelah.

“Kau masih tidak mengerti?!”

“Tidak! Jelaskan padaku.”

Ia memejamkan mata memohon kesabaran, “Demi Tuhan Seohyun-ah. Kumohon tinggalkan saja Aku!”

“Mengapa?!”

“Aku tidak pantas untukmu!”

“Aku mencintaimu Luhan-ah dan Aku tahu Kau pun merasakannya.”

“Jangan memaksaku untuk melukaimu. Aku benci harus menyakiti dirimu.”

Seohyun menatap tidka percaya. “Mengapa kau selalu lari?!”

“Hatiku terlalu kelam. Aku takut hatiku sudah tak sama lagi!”

“Ibumu pasti ingin Kau bahagia.”

Jantungnya serasa berhenti. Ia melupakan fakta itu.

‘Maafkan Aku bu.’ Ungkapnya.

“Aku tidak bisa. Kumohon jangan lakukan ini padaku Seohyun-ah!”

“Aku akan menunggumu.”

“Jangan sia-siakan hidupmu untukku. Kau pantas bahagia.”

“Hanya Kau yang bisa membuatku bahagia.”

Luhan tersenyum lembut pertama kali sepanjang hari ini. ia mengusap sayang wajah gadis itu.

“Ini yang terbaik untuk kita. Maafkan Aku.”

Tak menunggu lagi Luhan masuk ke dalam mobil dan menjalankannya

“Aku tidak peduli. Aku akan tetap menunggumu Xi Luhan.” Teriak Seohyun.

Luhan menatap lurus tanpa melihat ke belakang. Ia menginjak gas dalam. Ingin lari. Ingin cepat pergi dari tempat itu. Ia takut ia akan berubah pikiran jika memandang gadis itu lagi.

***

Baekhyun menemukan dirinya duduk di atas sofa rumahnya menatap kosong. Berhari-hari ia tidak bisa tidur. Wajah Seohyun, Kai, Ibunya terus membayang menghantui dirinya. Berhari-hari ia mengurung dirinya. Ponselnya sengaja ia matikan. Ia mengurung diri dari kejamnya dunia.

Ia hanya butuh waktu menenangkan diri sejenak. Baekhyun melirik tiket pesawat yang tergeletak di meja.

“Kau terlihat seperti zombie.” Celotehnya. Biasanya ia akan mengumpat membalas ucapan sahabatnya. Tapi ia hanya bergeming.

“Demi Tuhan, Lu.”

“Kenapa Kau bisa masuk kemari?” Luhan menatap kesal sahabatnya.

Baekhyun tersenyum puas jelas ia lega sahabatnya belum sepenuhnya pergi.

“Yah Kau masih belum mengganti passwordnya.”

Bibir Luhan mengerucut. “Jika Kau tahu diri Kau akan menekan bel alih-alih menerobos masuk.”

“Well, Aku tidak menerobos pintumu.” Jawabnya, “Dan Aku memang tidak tahu diri.” Diikuti cengiran khas Baekhyun.

Ia pasti sudah lupa, Baekhyun selalu saja punya jawaban dari semuanya.

“Ayo kita pergi.”

“Aku tidak tertarik.”

“Oh ayolah, sudah berhari-hari Kau seperti ini. Jika perlu Aku akan menyeretmu.”

“Lebih baik Kau pulang. Pintu keluarnya ada di sana.”

“Aku tahu dimana pintu keluarnya, dan Aku akan keluar bersamamu.”

Baekhyun menyeretnya paksa. Lalu protes, “Ya Tuhan, Lu. Sudah berapa hari Kau tidak mandi?”

Luhan mengangkat bahu. “Baumu sungguh tidak kalah dengan sampah.”

“Sialan Kau.”

Baekhyun menutup hidung dramatis, “Sungguh Kau perlu mandi.”

Kalimat yang akhirnya dihadiahi lirikan tajam. Dengan kesal Luhan pergi mandi. Sebab ia tahu jika tidak melakukannya Baekhyun akan mengoceh seperti istri yang cerewet.

Lima belas menit kemudian Luhan keluar dengan tubuh yang sedikit lebih segar.

“Nah kau sudah siap, ayo kita pergi.”

“Memangnya mau kemana?”

“Minum adalah solusi yang tepat untuk melupakan masalah.”

“Kau tahu Aku tidak bisa minum.”

“Yah Kau bisa memesan orange juice disana.” Ledek sahabatnya.

“Sial Kau.”

Baekhyun tersenyum tanpa merasa bersalah.

“Setidaknya Kau butuh menghirup udara segar. Kau sudah beberapa hari tak keluar rumah.”

Mau tak mau ia mengikuti saran Baekhyun. Ia masuk ke dalam mobil Baekhyun tak berkata-kata.

Luhan hanya menjawab seperlunya jika Baekhyun bertanya. Mereka pergi ke salah satu bar yang tak jauh dari rumah Luhan. Baekhyun jelas bersemangat saat menuruni undakan menuju Bar yang ada dibawah.

Namun pemandangan yang ada di hadapan Luhan cukup membuat Luhan ingin berbalik pergi. Tapi sahabatnya yang suka ikut campur itu menahannya. Ia menatap Baekhyun lalu tahu ini semua ulah dirinya.

“Maafkan Aku. Tapi Kai memohon padaku untuk bertemu denganmu.”

Luhan melepaskan tangan Baekhyun kasar, lalu memandang Kai.

Kai berjalan mendekat. “Hyung!”

Luhan berjengit mendengar panggilan itu.

“Aku berusaha menghubungimu tapi tak pernah berhasil.”

Ia diam sejenak. “Mungkin memang Aku tidak ingin diganggu.”

“Hyung, Aku.”

“Jika Kau pikir ini akan berhasil. Kau salah besar.” Katanya pada Baekhyun lalu pergi merasa begitu marah.

Ia sampai di jalanan luar, tapi tak semulus yang ia mau. Kedua orang itu mengejarnya.

“Hyung tunggu Aku.”

“Sudah kubilang jangan panggil Aku begitu.” Katanya membalikkan badan.

“Sebenarnya apa maumu?!” tanya Luhan kasar.

“Aku benar-benar sudah tidak mengenal dirimu lagi hyung.”

Ada luka dalam nada bicara Kai. Ia menatap tajam Kai.

“Katakan padaku. Apa selama ini Kau juga tahu?!”

Kai bergeming.

Luhan bisa menarik kesimpulan sendiri. Ia tertawa sinis. Perasaan terkhianati kembali menggelegak dalam dirinya, mengaduk-aduk perutnya.

“Sejak kapan?!”

“Maafkan Aku hyung.”

“Sejak kapan Kau tahu?!”

Kai menatap Luhan terlihat begitu nelangsa, “Dua tahun lalu.”

“Kau sudah tahu selama itu tapi kau diam saja?!”

Luhan tidak percaya. Meski ia ingin mengelaknya. Ia pikir Kai tidak tahu menahu masalah itu. Setitik hati Luhan berharap Kai berbeda dengan ayahnya. Tapi saat pernyataan itu diucapkan dari mulut Kai, Luhan tidak bisa merasa lebih muak lagi.

Ia menatap benci pada Kai. “Jangan pernah muncul di hadapanku lagi!”

“Luhan-ah.” Baekhyun terlihat begitu terkejut.

“Jika Kau masih menganggapku teman. Lebih baik kau tahu kapan harus angkat tangan dari masalah hidupku.”

Baekhyun kehilangan kata-kata.

Luhan melangkahkan kaki. Namun langkahnya dihentikan oleh Kai yang menghadang jalannya.

“Jantung ayah kambuh. Ia ada di ICU sekarang.”

Luhan mengangkat pandangan tanpa ekspresinya. “Aku tidak peduli.”

“Dia membutuhkan transplantasi jantung.”

Ia kembali mematung tak berekasi.

“Dokter berkata kondisi ayah mungkin tidak akan tertolong. Aku hanya ingin Kau memaafkannya untuk kali ini saja.”

Terluka, itulah perasaannya. Ia tidak ingin mengakuinya tetapi itulah kenyataan dalam hatinya.

“Mwo?! Kau ingin Aku memaafkannya!”

“Keadaannya kritis hyung.”

“Luhan!” Baekhyun berteriak.

Luhan mencengkram kerah baju Kai. “Mungkin dia memang patut mendapatkannya! Dia orang yang kejam!”

“Bagaimana bisa kau bicara begitu!”

“Kau tidak tahu apa-apa Kai!”

“Aku tahu bagaimana perasaanmu hyung!”

“Tidak! Kau tidak tahu!” ejek Luhan, “Kau selama ini yang selalu menjadi kesayangannya!”

Kai menghindari mata Luhan, “Kau adalah kebanggaannya! Dia tidak pernah menganggapku ada!”

“Itu tidak benar hyung!”

“Apa pun yang akan Kau katakan, bagiku dia bukan ayahku!”

Luhan melepaskan cengkeramannya. Ia begitu marah pada dirinya karena satu bagian kecil dalam hatinya merasa iba pada ayahnya itu. Tidak! Ingat, dia pantas mendapatkannya. Setelah apa yang laki-laki itu lakukan pada dirinya dan ibunya.

Luhan berjalan dengan langkah gontai. Pikirannya terlalu larut hingga ia tak memperhatikan jalan ketika menyeberangi ruas jalan yang biasanya tidak begitu ramai.

“Hyung!!”

“Luhan awas!!”

Bunyi kalkson mobil membaur bersama teriakan peringatan yang melayang di udara. Ia menoleh dan tubuhnya mematung. Ia menatap Kai dan Baekhyun yang berlari ke arahnya sebelum semuanya berubah menjadi gelap.

***

Dia begitu damai. Bagaimana bisa ia tidur sepulas itu. Apa dia tidak merasa lelah tak membuka matanya selama satu minggu penuh. Kai menatap tubuh Luhan yang terbaring di ruang ICU.

Sejak kecelakaan tempo hari yang menyebabkan Luhan koma selama satu minggu, tak membuat Kai beranjak dari sisi kakaknya. Tepukan hangat membuatnya berpaling dan tersenyum ketika Baekhyun berada di sisinya.

“Bagaimana kata dokter.”

Kai menggeleng sedih, “Hanya keajaiban yang dapat membangunkannya.”

Baekhyun menghela nafas panjang.

“Apa dia masih belum mau pulang?” tanya Baekhyun merujuk pada sosok Seohyun yang duduk di samping Luhan mengenakan baju hijau dan penutup kepala hijau.

Kai menggeleng, “Ia bersikeras tak mau meninggalkan Luhan.”

Sahabat kakaknya yang sudah ia anggap saudara sendiri itu mengangguk maklum.

Kai masih dihantui mimpi buruk. Seumur hidup ia tak pernah merasa begitu ketakutan, tapi ketika mengangkat tubuh Luhan yang tidak sadarkan diri dengan darah membanjiri tubuhnya Kai merasa takut.

Ia merasa ini semua gara-gara dirinya. Seharusnya ia tak mengejar kakaknya itu. Seharusnya ia menunggu hingga kakaknya sedikit tenang sebelum menemuinya. Ini tidak akan pernah terjadi jika ia mau sedikit saja bersabar.

“Berhentilah menyalahkan dirimu Kai.” Seakan dapat membaca pikirannya, Baekhyun menatapnya penuh arti.

Kai diam saja. Ia tidka butuh penghiburan saat ini. jika ia mampu ia ingin memukul dirinya sendiri. Hingga ia sedewasa ini ia tak pernah melakukan apa pun untuk Luhan. Kakaknya lah yang selalu memberikan banyak untuk dirinya. Tapi Kai, ia malah mengkhianati kepercayaan kakaknya.

‘Maafkan Aku hyung.’ Batin Kai.

***

Seohyun terbangun dari tidur singkatnya di ruang tunggu yang berada di depan ICU. Tubuhnya lelah ia tahu, tapi tak membuatnya ingin pulang ke rumah.

Rasanya Seohyun mati saat mendengar Luhan mengalami kecelakaan. Ia begitu takut saat ia melihat keadaan Luhan yang tidak berdaya dengan selang-selang yang menempel pada tubuhnya.

Bagaimana bisa Luhan yang selalu keras kepala terlihat lemah seperti itu. Ia ingin berteriak, ingin menghujat atas semua yang terjadi padanya dan Luhan. Benarkah ia dan Luhan memang tidak ditakdirkan bersama.

Seohyun memutar kembali waktu, mengkilas balik memori-memori singkat yang ia buat bersama Luhan. Ia menggenggam kalung milik Luhan, ia telah menyatukan kedua cincin mereka di kalung itu. Seohyun tidak ingin putus asa, meski dokter kemungkinan Luhan bangun itu sangat kecil. Tapi Seohyun percaya pada keajaiban. Ia tahu Tuhan itu ada.

Kai datang sembari tersenyum lesu lalu memberikannya satu cup kopi untuknya, sementara tangan Kai menggenggam untuk dirinya sendiri.

“Apa Kau tidak lelah? Pulanglah satu hari saja. Luhan pasti tidak mau Kau jatuh sakit.” Kata Kai.
Seohyun tersenyum tulus, “Kau sendiri tidak merasa lelah?”

Kai menggelenga lalu menyesap kopinya, “Aku tidak akan meningglkan hyung.”

“Kalau begitu jangan suruh Aku pulang Kai.”

Seohyun ikut menyesap kopinya. Lama mereka berdua terdiam larut dalam pikiran masing-masing.

“Ceritakan bagaimana kalian bertemu.” Kata Kai tiba-tiba membuat Seohyun harus berpaling memandangnya supaya merasa yakin.

Kai membalas pandangannya kemudian menatapnya penuh arti, “Sungguh Aku tidak akan merasa terluka.”
Seohyun tahu laki-laki itu berbohong. Ia menghela nafas menyandarkan badannya, memutar kopi di dalam cupnya membuat cairan itu beriak.

“Waktu itu musim panas, kami bertemu di Maccau. . .” kemudian Seohyun menceritakan kisahnya. Kisah yang tak akan pernah disesalinya meski ia merasa menderita.

Saat Seohyun selesai menceritakan kisahnya kepada Kai. Keduanya terdiam begitu lama, mungkin sama-sama memahami terkadang ada hal yang tidak bisa diungkapkan lewat kata.

Hingga serombongan dokter dan perawat berlari sepanjang koridor melewati kdua orang itu lalu masuk ke dalam ruangan dimana Luhan berada. Seohyun tak menunggu ia berdiri dengan bingung menghentikan satu perawat yang lewat.

“Ada apa suster?”

“Katakan, Apa terjadi sesuatu pada kakakku?” tanya Kai terdengar panik.

“Pasien kehilangan ritme detak jantungnya, kami harus segera menangani jika ingin menyelamatkannya.”

Seohyun melepaskan tangannya lalu terhuyung. Kai menangkap tubuh Seohyun. Mereka berdua hanya bisa melihat dari luar kaca ketika para dokter dan perawat berusaha menyelamatkan Luhan.

Air mata mengaliri wajah Seohyun. Ia merasa begitu putus asa. Hatinya tak henti-hentinya memanjatkan doa memohon keajaiban.

Mungkin Tuhan memang mendengarkan doa gadis itu. Atau memang belum saatnya Luhan pergi meninggalkan dunia ini. Satu hal yang pasti, keajaiban telah membuat Luhan membuka matanya.

Kai sendiri tidak bisa menahan diri untuk tidak meneteskan air mata saat dokter mengumumkan Luhan telah sadar dari koma meski kondisinya masih sangat lemah dan rentan.

“Pergilah menemuinya Seohyun-ah.” Kata Kai. Ia sangat tahu gadis itu begitu ketakuta.

Seohyun menggeleng, “Ikutlah bersamaku menemuinya.”

Mereka berdua memandang dokter memohon persetujuan. Dokter mengangguk pasrah.

“Jangan membuat pasien lelah. Kondisinya masih belum stabil.”

Keduanya mengangguk mantap.

***

Luhan mengerjapkan matanya lemah. Ia mengedarkan pandangan memandang ruangan yang tidak dikenalinya. Bau obat-obatan, dan bunyi alat di sampingnya membuatnya dapat menarik kesimpulan ia berada di rumah sakit.
Ia tidak ingat bagaimana ia bisa berada disini. Hal terakhir yang diingatnya ia bertengkar dengan Kai. Jantung Luhan berdegup begitu lemah. Ia pikir ia sudah mati. Mungkin ia tadi bermimpi bertemu ibunya.

Luhan senang meski mimpi itu tidak nyata. Ia begitu merindukan ibundanya itu. Setelah bertahun-tahun hanya membayangkan bagaimana rupa ibunya sekarang. Ibunya terlihat begitu cantik dan anggun terlihat damai dengan baju putih. Yang membuat Luhan merasa aneh, mengapa ibunya tampak begitu bersinar, sekaan cahaya putih yang membuat maat Luhan sakit dan membuatny susah payah memandang ibunya itu berasal dari tubuh ibunya.

“Luhan.” Ah suara ibunya masih terngiang di telinganya.

“Aku sangat merindukan ibu.”

“Ibu tahu.” Ibunya tersenyum. “Ibu harus pergi.” Ibunya berbalik. Luhan berteriak atau mungkin ia menjerit.

“Jangan tinggalkan Aku lagi ibu.”

Ibunya menoleh tersenyum.

“Bawa Aku bersamamu bu.”

“Tidak Luhan. Belum waktunya.”

“Mengapa? Lagipula tidak pernah ada yang menginginkanku di dunia ini.” kalimatnya terdengar begitu menyedihkan.

“Kau harus menyelesaikannya.”

Luhan menatap mata ibunya, dan ia bisa melihat jawaban di sana, “Apa jika Aku menyelesaikannya, Ibu akan membawaku pergi?”

Ibunya tersenyum lalu tiba-tiba semuanya berubah menjadi terang. Dan ia terbangun.

“Hyung.” Luhan tak menyadari ada orang di sisinya kini.

Ia mengalihkan matanya untuk menatap Kai dan Seohyun.

Luhan berusaha tersenyum tetapi wajahnya terlalu kaku. Ia mengangkat tangannya lemah membiarkan Seohyun menopang dan menggenggam tangannya.

“Ma, Maaf.” Ucapnya susah payah.

Ah mereka berdua menangis. Apakah ini keahlian barunya? Membiarkan orang-orang yang ia sayangi menangis.

“Jangan meminta maaf.” Kata Seohyun.

Luhan menggeleng atau bermaksud menggeleng ia tidak tahu apakah ia mampu menggerakkan kepalanya. Seluruh tubuhnya terasa begitu lemah.

“Kumohon hyung, Kami tidak ingin membuatmu lelah.” Kata Kai.

Ia ingin tersenyum dan merngkul adiknya itu. Ia tahu ia tidak punya banyak waktu untuk mengatakannya. Untuk meminta maaf atas segala kesalahannya. Karena telah melukai perasaan Kai.

“Maafkan Aku.”

“Hyung.” Luhan berhasil menggeleng.

“Dengarkan Aku.” Ucapnya lirih.

Luhan mengerling ketika seseorang hadir di sana. Ibunya telah datang untuk menjemputnya.

“Kai.”

“Ya hyung.” Kai menangis.

Apa mungkin Kai tahu. Mungkinkah Kai bisa merasakan firasat.

“Maafkan Aku.”

“Tidak hyung.”

“Waktuku tidak banyak.”

“Kumohon jangan berkata begitu hyung. Kau tidak akan mati.”

Luhan tersenyum mendengar nada keras kepala adiknya. Ia mengangkat tangan menghapus air mata Seohyun.

“Jangan menangis untukku. Aku tidak pantas.”

Gadis itu menatapnya sedih.

“Maukah kau berjanji padaku?”

Gadis itu menggeleng keras terus menangis, “Tidak aku tidak mau.”

Luhan mengeratkan tangan pada wajahnya, “Kau harus bahagia.”

Gadis itu menggeleng. Ah apa ini, ia merasakan air mata.

“Kai.”

“Jangan katakan. Aku tidak mau hyung.”

“Aku tidak pernah meminta apa pun padamu.” Kai melakukan hal yang sama dengan Seohyun.

Luhan tak menghentikan ucapannya, “Kumohon berjanjilah Kau akan menjaga Seohyun jika Aku tidak ada.”

Kai kembali menggeleng, “Sialan, Aku akan memastikan Kau hidup untuk menjaganya sendiri.”

Luhan tertawa. Ia bersyukur mungkin ini kali terakhir ia akan tertawa. Ibunya mendekat dan mengulurkan tangan, masih terlihat begitu bercahaya.

“Kai.”

“Jangan katakan apa pun!” kata Kai putus asa. Pandangan Luhan mulai mengabur. Ia ingin menatap kedua orang itu untuk terakhir kalinya.

“Jika Aku mati. Berikan jantung ini untuk ayah.”

“Kau tidak akan mati!”

Ibunya tersenyum mengangguk mungkin setuju dengan keputusannya. Ibunya kembali mengulurkan tangan.

Ia kembali lagi menatap Kai dan Seohyun berlama-lama meskipun ia tahu ingatannya akan menghilang seiiring ia menghilang.

***

Lima Tahun Kemudian

Kai menyusuri The Venetian sembari tersenyum mengganding tangan mungil di genggamannya. Ia menyeruak kerumunan turis yang datang mengunjungi Maccau. Hari ini tepat dua hari musim memasuki musim panas.

Tujuannya sudah ada di depan matanya. The Grand Canal ramai dikunjungi pengunjung. Suasana di sini mungkin sama yang terjadi di Venesia yang asli. Yah meskipun tempat ini dibangun terinspirasi Venesia, rupanya tak membuat pengunjung merasa kecewa meski mengunjungi replika tempat itu.

Semakin mendekati kanal, ia mencari dalam kerumunan. Kai melihat orang-orang yag menaiki gondola, atau lagu-lagu yang dinyanyikan pengayuh gondola. Gadis yang berjalan di sampingnya memekik tidak sabar ketika ia melihat orang itu.

Kai tersenyum melepaskan genggaman gadis itu membiarkannya memeluk orang yang tengah berdiri di Grand Canal membelakangi mereka.

Ketika tubuh gadis itu memeluknya, orang itu membalikkan badan dan tersenyum ke arah gadis itu dan Kai.

“Ibu.”

Seohyun tersenyum begitu menawan berjongkok di depan gadis berusia tiga tahun.

“Seoyeon-ah.” Seohyun lalu memeluk putri semata wayangnya, “Ayahmu sudah membelikanmu es krim?”

Gadis kecilnya itu mengangguk. “Tapi ayah menghabiskannya.” Seoyeon cemberut.

Kai tertawa lalu mengangkat Seohyeon ke dalam gendongannya.

“Ibu akan membelikanmu lagi nanti.”

Seohyun menatap Kai. Kai mengangguk tersenyum. Ada alasan mengapa mereka datang kemari. Seohyun melepaskan kalung yang selama lima tahun ini tidak pernah ia lepaskan.

Ia kemudian menggenggam lalu memohon berdoa. Seohyun menghela nafas menatap Kai menganggukkan kepalanya.

‘Luhan semoga Kau bahagia di sana.’ Doanya. ‘Seperti yang kau lihat, kami bahagia untukmu.’

Seohyun melempar kalung berliontin dua cincin ke dasar Grand canal membiarkannya bersatu bersama koin-koin yang lain. Setelah itu menyambut uluran tangan Kai.

 

Hari ini Aku memenuhi janjiku.
Lima tahun berlalu sejak Aku dan Seohyun kehilangan orang itu.
Orang yang memberikan pelajarn pada kami makna kehidupan.
Luhan telah pergi. Ya ia telah pergi untuk selamanya
Tapi baginya Luhan akan tetap hidup di hatinya.
Dalam kenangan abadi yang tak akan lekang oleh waktu.
Akan menjadi sebuah kisah yang akan kami ceritakan pada anak cucu kami

Luhan telah mengajarkan hidup yang sebenarnya pada kami.
Hidup yang begitu singkat.
Ia mengajarkan bahwa dalam kehidupan akan merasakan cinta, sakit, bahagia, putus asa.
Nikmatilah proses itu. Dengan itulah manusia bisa dikatakan hidup.

Luhan mengajarkannya arti kasih sayang.
Jika kalian menyayangi seseorang jangan pernah takut untuk menyatakannya.
Jangan pernah ragu untuk mengungkapkannya.
Sebab seperti hidup yang selalu menghitung mundur.
Kita tidak pernah tahu kapan orang itu hilang pergi meninggalkan kita

Catatan Harian Kim Jongin
Maccau, 28 Desember 2014

27 thoughts on “[Series] That Summer – Chap. 8 / Final

  1. aku nangis baca nya patut di kasih apresiasi dari awal aku memang suka ff ini makasih buat author nya dan di tunggu ff selanjut nya

  2. TTT___TTT sadnya dpt banget kakkkkkk. Aduh sumpah aku nangis beneran. Luhan keliatan kasian banget ga bisa ngapa”in. Belum sempet ngerasain keadilan dan kasih sayang dr Appanya, dia sdh pergi😭😭😭
    Tp untungnya dia pernah ngerasain yg namanya cinta, kasih sayang, sakit hati, dendam. Yah disamping semua itu sih walaupun dia karakternya keren banget, selalu mengalah dan mencoba untuk meraih keadilan yg dia harapin dr kecil. Bahkan dia ngasih jantungnya bwt Appanya yg ga pernah anggap dia anak. Nyesekkk kok bisa Luhannya meninggal😭😭😭
    Aahhhhh ini ceritanya terlalu bagus kakkkk terlalu sedihhh

Silahkan berkomentar~ ^^ #AceBabySeoHanjjang